
Ayam Hutan: Jejak Liar Nenek Moyang Ayam Kampung

Gusarov – Ayam hutan adalah kelompok burung dari genus Gallus yang hidup liar di hutan-hutan Asia Selatan hingga Asia Tenggara. Di Indonesia, nama ini paling sering merujuk pada ayam hutan merah (Gallus gallus) dan ayam hutan hijau (Gallus varius), dua spesies yang telah memikat peneliti, petani, sekaligus pegiat konservasi. Meski kerap dianggap “versi liar” dari ayam kampung, mereka menyimpan kisah evolusi, budaya, dan ekologi yang jauh lebih kaya.
Keragaman Spesies
- Ayam hutan merah (G. gallus) – Penyebaran terluas, dari India hingga Jawa. Inilah leluhur utama ayam domestik.
- Ayam hutan hijau (G. varius) – Endemik Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara, terkenal karena bulu jantan berpendar hijau-metalik.
- Ayam hutan abu-abu (G. sonneratii) – Menghuni India bagian selatan.
- Ayam hutan Sri Lanka (G. lafayettii) – Terbatas di Sri Lanka.
Indonesia beruntung memiliki dua spesies pertama, menjadikannya pusat keanekaragaman Gallus di wilayah tropika.
Habitat dan Pola Hidup
Ayam hutan memilih hutan sekunder, tepi hutan, dan semak belukar yang berdekatan dengan sumber air. Mereka aktif pagi dan sore, mencari biji-bijian, tunas, serangga, hingga buah rimba yang gugur. Malam hari dilewati dengan bertengger di dahan 2–5 meter di atas tanah, jauh dari pemangsa seperti biawak atau musang.
Kelompok dasar terdiri atas seekor jantan dominan dan 2–5 betina. Pada musim berbiak, pejantan memamerkan tari sayap dan kokok nyaring yang terdengar hingga 1 kilometer. Betina menggali sarang dangkal berlapik daun kering dan rata-rata bertelur 4–6 butir. Anak yang menetas sudah mampu berjalan serta mengikuti induk mencari makan dalam hitungan jam.
Hubungan dengan Manusia
Domestikasi ayam diperkirakan bermula 8 000 tahun lalu di Indochina, ketika manusia menangkapi ayam hut4n merah jinak untuk sumber protein dan ritual. DNA modern membuktikan ± 90 % genom ayam pedaging kini masih identik dengan ayam hut4n merah. Di Nusantara, hibridisasi ayam hut4n hijau dengan ayam kampung menghasilkan bekisar, ayam kontes berkokok panjang yang menjadi maskot Provinsi Jawa Timur.
Selain sumber pangan, ayam hut4n memasuki ranah budaya melalui sabung ayam, kesenian topeng, hingga mitologi Jawa yang memandang ayam jago sebagai simbol keberanian. Namun hubungan ini tidak selalu positif; perburuan pejantan berwarna indah untuk koleksi telah menekan populasi lokal di beberapa pulau kecil.
Status Konservasi
IUCN memasukkan ayam hutan merah dan ayam hut4n hijau ke kategori Least Concern (Risiko Rendah).i Meski begitu, hilangnya habitat, fragmentasi hutan, serta kawin silang tak terkendali dengan ayam peliharaan menjadi ancaman nyata. BirdLife DataZone (2025) menunjukkan populasi ayam hut4n hijau relatif stabil, tetapi menurun di pesisir Bali akibat alih fungsi lahan wisata.
Upaya Pelestarian
- Perlindungan habitat kunci – menetapkan sabuk hutan sekunder sebagai zona penyangga di sekitar taman nasional.
- Pengawasan perdagangan satwa – memperketat izin penangkaran untuk mencegah penangkapan liar, khususnya pejantan dewasa.
- Penelitian genetika populasi – memantau tingkat hibridisasi agar plasma nutfah asli tidak hilang.
- Program edukasi desa hutan – mengajak warga memelihara ayam kampung terpisah dan berhenti memasang jerat.
Gerakan komunitas seperti “Javan Junglefowl Watch” di Banyuwangi berhasil menurunkan kasus perburuan menjadi nyaris nol dalam lima tahun terakhir—bukti bahwa edukasi dan insentif ekonomi (ekowisata, lomba kokok berhadiah) bisa berjalan beriringan.
Ayam hutan bukan sekadar “unggas liar”; ia adalah potongan sejarah evolusi, penjaga ekosistem hutan yang menyebarkan biji tanaman, sekaligus ikon budaya. Menjaga populasinya berarti merawat mosaik kehidupan tropika yang telah memberi manusia sumber pangan dan inspirasi sejak Zaman Neolitik. Dengan dukungan sains, kebijakan, dan partisipasi publik, kokok ayam ini akan terus menggema di rimba Nusantara—mengingatkan kita pada harmoni lama antara manusia dan alam.